Marga Simalungun merujuk kepada nama keluarga atau marga yang dipakai di belakang nama depan masyarakat
Simalungun yang berasal dari daerah
Kabupaten Simalungun,
Sumatera Utara,
Indonesia.
Ada 4 marga asli dari Simalungun: Damanik, Purba, Saragih dan Sinaga.
Keempat marga tersebut berasal dari marga raja-raja di Simalungun yang
bermufakat untuk tidak saling menyerang. Beberapa marga dari luar
Simalungun kemudian menganggap dirinya sebagai bagian dari 4 marga
tersebut ketika mereka menetap di Simalungun. Sebagai suku yang menganut
Paterilinear, marga pada suku Simalungun diturunkan melalui garis Ayah,
oleh karena itu orang yang memiliki marga yang sama dianggap sebagai
kakak-adik sehingga tidak diperbolehkan untuk saling menikah.
Asal-usul
Sejarah
asal usul dari marga-marga yang ada di dalam suku Simalungun sangatlah
minim, namun beberapa sumber tertulis menyatakan bahwa ada 4 marga asli
dalam Suku Simalungun yang biasa diberi akronim SISADAPUR.
[1] Beberapa sumber juga menyatakan bahwa 4 marga tersebut berasal dari “
Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (dalam
bahasa simalungun yaitu:
marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).
Keempat raja itu adalah
[2]:
Raja Nagur bermarga Damanik

Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti
Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan
Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari
Raja Rajendra Chola dari
India,
yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah
Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah
puteranya:
- Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
- Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung
Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang,
Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
- Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)
Selain itu datang marga keturunan
Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.
Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti
Simada Ragih, yang mana
Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga
simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
Keturunannya adalah:
- Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya.
- Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.
Saragih Garingging kemudian pecah menjadi 2, yaitu:
-
- Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei
- Dajawak, merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.
Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada 2 keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman
Tuan Rondahaim
terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari
Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang,
Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk.
Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir.
Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun.
Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di
Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini keRaja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari
bahasa Sanskerta yaitu
Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.
Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog,
Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang,
Tondang, Sihala, Raya.
Pada
abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari mudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Purba
Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Sinaga
Sinaga berarti
Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor.
Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.
Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada
abad ke-14, pasukan dari
Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.
Menurut
Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga
Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan
Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (
Sibijaon).
Tideman, 1922
Beberapa Sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari
India, salah satunya adalah menrurut
Tuan Gindo Sinaga keturunan dari
Tuan Djorlang Hatara.
Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah
Nagaland
(Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang
memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan
anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.
hhkg
Marga-marga perbauran
Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan
Pakpak
menimbulkan marga-marga baru. Sebagian besar dari marga-marga ini
merupakan marga yang telah ada di daerah/suku lain. Marga-marga tersebut
yaitu:
Saragih
- Sitanggang
- Munthe
- Siadari
- Sidabutar
- Sidabalok
- Sidauruk
- Simarmata
- Simanihuruk
- Sijabat
Purba
- Manorsa
- Simamora
- Sigulang Batu
- Parhorbo
- Pantomhobon
- Sigumonrong
- Pak-pak
- manalu
- siboro
Damanik
- Malau
- Limbong
- Sagala
- Gurning
- manalu
- Manikraja
- Tambak
- Maringga
Sinaga
Sebagian marga di atas dikategorikan ke dalam salah satu marga
Simalungun karena hubungan persaudaraan, perjanjian atau kerjasama
antara kedua marga. Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan
marga Asli Simalungun tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian
dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Butar-butar, Sirait,
Parhusip dan Tambunan.
Marga Mengikuti Raja
Zaman
raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari
raja-raja disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Fenomena
sosial ini diakibatkan adanya hukum marga yang keras di Simalungun
menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di
Simalungun.
Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi
meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun
yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba.
Setelah raja-raja dikuasai
Belanda sejak ditandatanganinya
Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun
1907 dan dihapuskannya kerajaan/
feodalisme dalam aksi
Revolusi Sosial tanggal
3 Maret 1946 sampai April
1947,
peraturan tentang marga itu menghilang dengan sendirinya di Simalungun.
Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya
semula.
Penambahan marga
Pada tahun
1930, Pdt. J. Wismar Saragih pernah menuliskan surat permohonan pada kumpulan Raja-Raja Simalungun yang berkumpul di
Pematang Siantar
yang meminta agar Raja-Raja tersebut menetapkan marga-marga baru
sebagai tambahan kepada marga resmi Simalungun dengan maksud agar
semakin banyak marga Simalungun seperti pada suku lain. Walaupun ide
tersebut diterima oleh Raja-Raja tersebut namun permohonan J. Wismar
Saragih belum disetujui karena belum tepat waktunya.
Karena alasan tersebut di atas, sebagian orang berpandangan bahwa
masih ada kemungkinan bertambahnya Marga-marga di Simalungun. Hal ini
senada dengan apa yang pernah dituliskan mengenai asal usul beberapa
Marga. Semisal Marga Saragih Garingging, yang disebut beberapa sumber
berasal dari keturunan Pinangsori, dari Ajinembah (sebuah daerah di
Kabupaten Karo) dan bermigrasi ke Raya sehingga bertemu dengan Raja
Nagur dan dijadikan marga Saragih Garingging.
[3] Begitupun marga Purba Tambak, disebutkan berasal dari penduduk daerah
Pagaruyung
yang bermigrasi ke daerah Natal, kemudian ke Singkel, hingga tiba di
daerah Tambak, Simalungun. Keturunannya kemudian menikah dengan
keturunan Raja Nagur dan mereka dijadikan sebagai bagian dari Purba,
yaitu Purba Tambak.
[4]
Marga Damanik juga disebut sebagai pendatang yang menikah dengan
keturunan Tuan Silampuyang yang bermarga Saragih dan kemudian diberi
marga.
Adat
Sebagai suku
yang bersifat Paterilinear, Suku Simalungun menurunkan marganya melalui
garis keturunan Pria, dengan demikian marga seorang ayah akan diteruskan
ke putera/puterinya. Oleh karena itu 2 orang yang memiliki marga yang
sama akan saling menganggap diri mereka sebagai saudara seketurunan
sehingga dipantangkan (tidak diperbolehkan) untuk saling menikah.
Bagi Wanita, marga disebutkan sesudah kata
boru (biasa
disingkat br.), sehingga jika ada seorang wanita bernama Sofia yang
lahir dari ayah bermarga Saragih, maka akan dipanggil sebagai Sofia boru
Saragih. Saat seorang wanita Simalungun menikah dengan lelaki dari
marga lain, biasanya ia akan menggunakan marga suaminya tersebut pada
namanya. Sehingga jika Sofia boru Saragih menikah dengan marga Purba,
maka ia akan dipanggil sebagai Sofia Purba boru Saragih.
Daftar marga
Daftar di bawah ini memuat beberapa marga Simalungun.